Wednesday 30 May 2012

Tulisan 5


Marilyn Manson

 Yeah kembali lagi ke tulisan ane yang ke lima. Kali ini tulisannya ga beda jauh nih sama tulisan ane yang pertama, masih agak berkaitan dan berhubungan dengan genre musik kesukaan ane. Metaaaaaal coy hahaha. Oke langsung aja nih mungkin sebagian orang ga asing lagi denger tokoh yang satu ini. Untuk pecinta musik ini khususnya, pasti semua sudah mengenal betul tokoh kontroversial yang satu ini. Marilyn Manson. Yap Marilyn Manson si musisi, penyanyi dan sekaligus pencipta lagu dengan genre antara lain Alternative metal, Industrial metal, Shock rock, Hardrock, Industrial rock, Glam rock. Langsung aje nyok kite intip sepenggal cerita dikit tentang si doi musisi keren tapi serem hohoho dan Band nya yang keren banget ini cekidot.



Brian Hugh Warner (lahir 5 Januari 1969) atau biasanya dipanggil Marilyn Manson merupakan seorang penyanyi berkebangsaan Amerika Serikat. Nama ini diambil dari nama Marilyn Monroe dan Charles Manson. Dia dilahirkan di Canton, Ohio. Ayahnya menganut agama Katolik sedangkan ibunya menganut agama Episcopalian.


Marylin Manson adalah seorang yang engga ada matinya,hidupnya yang selalu dikelilingi sama kontroversi seputar penampilan, terus perseteruanya dengan kalangan gereja, serta enggak ketinggalan, pengaruh lagu-lagunya yang dinilai terlalu mengandung kekerasan sehingga kerap dituduh sebagai pemicu sejumlah kasus penembakan di Amrik.

Om yang kabarnya enggak pernah difoto tanpa make-up khasnya itu lahir dengan nama Brian Warner Canton tanggal 5 Januari 1969.Salah satu alasan dibalik kesuksesan om Manson yang satu ini adalah kemampuanya dalam membentuk image- yang begitu kuat sehingga mempunyai banyak penggemar yang begitu menggilainya.

Nama Marilyn Manson diambil dari gabungan 2 orang paling disukai (Marilyn Monroe, artis) dan yang paling dibenci (Charles Manson, pemimpin sekte satanic) seantero amrik.

Para personel Marilyn Manson & The Kids Spooky :

* Marilyn Manson di vokal
* Ginger Fish di drum
* Madonna Wayne,biasa disebut "MW" Keyboard
* Mark Chaussee sebagai lead guitar
* Tim Skold di posisi bass

 Diskografi
Filmografi
Buku

Uniknya, hampir semua nama panggung diatas diambil dari tokoh dari serial pembunuhan.

Pembentukan band ini sendiri diawali di tahun 1989 di selatan Florida pas Manson sama wartawan Daisy Berkowitz yang juga seorang gitaris dateng bareng terus mutusin buat ngebentuk band,selanjutya baru Gein dan Madonna nyusul buat join.Dengan menggunakan nama frontman-nya "Marilyn Manson" sebagai nama band, band ini mulai ngerilis kaset dan manggung di beberapa gigs. Dengan outlook yang khas, serta aliran musik yang "aneh"mereka lumayan dilirik penonton. Titik awal kesuksesan dari band ini dimulai saat mereka ditawari kontrak kerjasama rekaman dari band yang lebih senior "Nine Inch Nails" di tahun 1993 oleh vokalis Trent Reznor buat label mereka "Nothing" serta buat turut ngramein konsernya turnya NIN.

Dengan dirilisnya album "Smells Like Children" ngebikin band ini ngerasain sukses komersial, disusul dengan dirilisnya album berikutnya(1996) Antichrist Superstar. Enggak cukup dengan itu Marilyn Manson pun juga sukses nyiptain biografi tentang dirinya yang dikasih judul "The Long Road Out pf Hell" yang sukses ngeraih best seller. Tapi akibat dari penciptaan citra yang
demikian, beberapa konser MM dibatalkan dengan alasan "amoral" dan "penggunaan binatang di panggung" di beberapa konsernya di tahun 1997.




Meski demikian, di 1998 MM kembali menggebrak dengan "Mechanical Animals" yang menyindir media dan kehidupan sosial. Kemudian pada tahun millenium,2000 Holy Wood (In the Shadow of the Valley of Death) dirilis dan sukses menggelar beberapa tur tapi sebelum tur mereka di Michigan berlangsung (juli 2001), Manson didakwa atas pelecehan seksual.

Yupz, disamping itu semua, pencitraan Manson akan dirinyabenar-benar sukses ngebikin saya penasaran. Sosok yang lekat dengan kesan "dark" dan menurut kabar merupakan seorang "satanic". Banyak juga yang mengatakan kalau Manson benar-benar penganut satanic. Bahkan di 1994 Manson dikabarkan menemui Dr. Anton Szandor Lavey, pendiri gereja satanic, dan beliau (bah!!) menyebut Manson sebagai "priest of the Church of Satan".

Manson. adalah salah satu dari "shock rockers", mencapai puncak ketenaran dengan image yang lekat dengan sex, drugs, dan satanisme. Dalam hal ini Marylin benar-benar kreatif dan sukses, ditambah lagi dengan pernyataan-pernyataan kontroversialnya ngebikin om yang satu ini enggak pernah lepas dari sorotan media.

INFO TAMBAHAN: Kasus Penembakan di Columbine High School, ada beberapa kalangan yang menilai bahwa tersngka penembakan (Erric Harris dan Dylan Klebold), meski keduanya menyatakan kalu merekan bukanlah fans dari Marilyn Manson. Saking marahnya Manson atas tuduhan tersebut, dia ngebatalin konser di Denver sampai Ozzfest 2001.

Dalam pembuatan dokumenter "Bowling For Columbine" Michael Moore yang berkesempatan mewawancarai MM. Saat pertanyaan "what you would say to the two if you had a chance to talk to them before the killings?" MM menjawab dengan satu kalimat yang terkenal:"I wouldn't say a single word to them; I would listen to what they have to say, and that's what no one did."

Sampai disini MM bener ngebuktiin betapa kreatif nya dia dalam penciptaan citra akan dirinya, meski sebagian mengganggapnya salah.....

Aksi panggungnya yang kerap menontonkan penyobekan Injil / menginjak-injaknya di depan penonton sebagai bentuk perlawanannya kepada gereja yang kerap memusuhinya menurut ane itu adalah hal yang salah, menurut agan – agan gimana??? Frontal banget yah? Jujur mungkin itu bukan pencitraan yang baik, tapi ane ngacungin dua jempol buat Manson yang punya suara super keren dan penampilan nyentrik yang asik abis. Disamping itu juga doi merupakan sosok yang kreatif, lagu – lagunya keren walaupun kadang ane suka ngga ngerti hehe. Semoga tulisan ini bermanfaat buat pengetahuan agan – agan sekalian yah, musik selalu membawa dampak baik jika kita menanggapinya dengan baik, ambil yang positif aja yah yang negatif cukup kita jadikan pelajaran aja ok? We Love U Marilyn Manson and gogogo music in the world.


sumber :

Monday 28 May 2012

BAB 8 Struktur Produksi, Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan


BAB 8 Struktur Produksi, Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan

Distribusi Pendapatan Nasionalhttp://e-dukasi.net/images/blank.gif
Cara distribusi pendapatan nasional akan menentukan bagaimana pandapatan nasional yang tinggi mampu menciptakan perubahan-perubahan dan perbaikanperbaikan dalam masyarakat, seperti mengurangi kemiskinan, penganguran dan kesulitan-kesulitan lain dalam masyarakat. Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak merata hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja.
Perbedaan pandapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi. Pihak yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak juga.
Ada sejumlah alat atau media untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan. Alat atau media yang lazim digunakan adalah Koefisien Gini (Gini Ratio) dan cara perhitungan yang digunakan oleh Bank Dunia.
Koefisien Gini biasanya diperlihatkan oleh kurva yang dinamakan Kurva Lorenz. Kurva ini memperlihatkan hubungan kuantitatif antara prosentase penerimaan pendapatan penduduk dengan prosentase pendapatan yang benar-benar diperoleh selama kurun waktu tertentu, biasanya setahun.
Perhatikan gambar berikut!
http://e-dukasi.net/file_storage/modul_online/MO_54/Image/eko202_09.jpg
Dari gambar di atas, sumbu horisontal menggambarkan prosentase kumulatif penduduk, sedangkan sumbu vertikal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima oleh masing-masing prosentase penduduk tersebut. Sedangkan garis diagonal di tengah disebut “garis kemerataan sempurna”. Karena setiap titik pada garis diagonal merupakan tempat kedudukan prosentase penduduk yang sama dengan prosentase penerimaan pendapatan.
Semakin jauh jarak garis kurva Lorenz dari garis diagonal, semakin tinggi tingkat ketidakmerataannya. Sebaliknya semakin dekat jarak kurva Lorenz dari garis diagonal, semakin tinggi tingkat pemerataan distribusi pendapatannya. Pada gambar di atas, besarnya ketimpangan digambarkan sebagai daerah yang diarsir.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa suatu distribusi pendapatan makin merata jika nilai Koefisien Gini mendekati nol (0). Sebaliknya, suatu distribusi pendapatan dikatakan makin tidak merata jika nilai Koefisien Gininya makin mendekati satu. Perhatikan tabel 1.5.
http://e-dukasi.net/file_storage/modul_online/MO_54/Image/eko202_10.jpg
Selain penggunaan Koefisien Gini, untuk melihat distribusi pendapatan dapat menggunakan kriteria yang ditentukan Bank Dunia (World Bank). Perhatikan tabel 1.6.
http://e-dukasi.net/file_storage/modul_online/MO_54/Image/eko202_11.jpg
Menurut teori neoklasik, perbedaan kepemilikan faktor produksi, lama kelamaan akan hilang atau berkurang melalui suatu proses penyesuaian otomatis. Bila proses otomatis tersebut masih belum mampu menurunkan perbedaan pendapatan yang sangat timpang, maka dapat dilakukan melalui sistem perpajakan dan subsidi. Kedua sistem ini dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan redistribusi pendapatan.
Penetapan pajak pendapatan/penghasilan akan mengurangi pendapatan penduduk yang pendapatannya tinggi. Sebaliknya subsidi akan membantu penduduk yang pendapatannya rendah, asalkan tidak salah sasaran dalam pemberiannya. Pajak yang telah dipungut apalagi menggunakan sistem tarif progresif (semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi prosentase tarifnya), oleh pemerintah digunakan untuk membiayai roda pemerintahan, subsidi dan proyek pembangunan. Dari sinilah terjadi proses redistribusi pendapatan yang akan mengurangi terjadinya ketimpangan.
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia





Pada akhir tahun tujuh puluhan orang mengenal istilah stagflation (stagnation and inflation), di mana inflasi terjadi berbarengan dengan stagnasi. Dewasa ini Indonesia menghadapi dua kondisi yang terjadi secara simultan yang sifatnya antagonistis, yakni pertumbuhan ekonomi berlangsung serentak dan kemiskinan. Dari satu segi, kondisi makro ekonomi berada dalam keadaan yang cukup meyakinkan.

Tingkat inflasi relatif cukup terkendali pada tingkat satu digit, import-eksport berjalan cukup baik, tingkat bunga lumayan rendah dan cadangan devisa cukup tinggi untuk dapat menjamin import dalam waktu sedang, investasi cukup tinggi (angka-angkanya boleh dilihat sendiri dalam Laporan BPS, Laporan Bank Indonesia dan Nota Keuangan).

Tetapi dari segi mikro, pengangguran dan kemiskinan makin meningkat. Urbanisasi meningkat terutama dari kelompok miskin dan pengemis. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga disemua kota-kota besar seluruh Indonesia. Semua ini menandakan adanya kemiskinan dan sempitnya kesempatan kerja di pedesaan.

Dibandingkan dengan banyak negara lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak rendah. Bahkan ketika krisis keuangan global yang menimpa hampir semua negara, sebagai akibat dari krisis kredit perumahan (prime morgate loans) di Amerika, yang bermula pada tahun 2006 sampai tahun 2009, ekonomi Indonesia tidak mengalami goncangan yang berarti.

Kemampuan untuk meredam akibat dari keuangan ini dapat terjadi berkat kebijakan makro ekonomi yang hati-hati dan tepat, di samping kondisi keterbukaan yang memangnya tidak sebesar negara-negara tetangga seperti Singapore dan Malaysia.
Kemampuan Indonesia bertahan terhadap krisis keuangan tersebut menimbulkan keyakinan rakyat pada kemampuan pemerintah SBY Periode I, sehingga dapat memenangkan Pemilihan Umum untuk Priode II. Sayangnya keberhasilan dalam bidang ekonomi pada tataran makro ini tidak mampu menekan tingkat kemiskinan yang sejak lama sudah berlangsung.

Selama masa yang panjang, sejak beberapa dekade yang lalu, di Indonesia berlangsung proses pemiskinan desa secara berkelanjutan. Dalam Era Orde Baru dikenal kebijaksanaan peningkatan ekspor non-migas. Sub-sektor industri non migas ini menjadi prioritas utama. Berbagai fasilitas diberikan kepadanya, termasuk hak untuk membayar upah buruh rendah.

Upah buruh murah ini memang telah menjadi trade mark Indonesia dalam promosi penarikan modal asing. Asumsi yang dipakai, bahwa dengan upah buruh yang murah, maka harga pokok barang-barang yang diproduksi akan murah. Dengan demikian, produk eksport Indonesia mempunyai daya saing yang tinggi. Padahal, meskipun harga pokok mempunyai korelasi dengan daya saing, karena barang dapat dijual dengan harga murah, tetapi daya saing suatu barang tidak sekadar ditentukan oleh harga (pokok), tetapi juga oleh kualitas barang, teknik marketing , politik/ diplomasi dan lain-lain.

Agar buruh (termasuk PNS) dapat hidup, maka harga bahan makanan harus dapat dipertahankan rendah. Inilah yang menjadi tugas pokok Bulog sejak waktu itu. Jika harga bahan makanan dalam negeri naik, Bulog segera harus mengimpor dari luar negeri. Rendahnya harga bahan makanan yang note bene hasil produksi petani, mengakibatkan terjadinya proses pemiskinan petani di daerah pedesaan secara berkelanjutan.

Perbedaan dua kondisi yang yang berlangsung secara terus menerus tersebut selama masa yang panjang telah mengakibatkan semakin melebarnya ketimpangan ekonomi antar penduduk di Indonesia. Hal yang perlu diindahkan adalah, jika ketimpangan pendapatan antar penduduk sudah sangat lebar, akan terdapat kecenderungan mengaburnya pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran dari pembangunan. Artinya, setiap kita melihat adanya pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh peningkatan pendapatan per kapita, sulit dirasakan, pada saat yang sama boleh jadi sedang berlangsung proses pemiskinan.

Sebagai contoh dari keadaan ini dapat ditunjukkan dengan angka-angka sederhana sebagai berikut:

Jika misalnya, suatu negara berpenduduk 100 juta orang, terdapat 5% penduduk dengan pendapatan rata-rata US$ 300.000 per tahun, sementara 95% lainnya berpendapatan US $ 3000 per tahun (setingkat pendapatan rata-rata Indonesia sekarang). Andaikan, jika golongan penduduk kaya yang 5% itu naik pendapatannya 10% per tahun, sementara golongan menengah ke bawah yang 95% itu mengalami penurunan pendapatan per tahun sebesar 20%, akan terjadi kenaikan pendapatan rata-rata sebesar 5,21%. Hal ini dapat ditunjukan dengan perhitungan sederhana seperti berikut.

1. Total pendaptan semula adalah:
a. 5 Juta X US$ 300.000 = US$ 1.500.000
b. 95 Juta X US$ 3.000 = US$ 285.000
Total pendaptan US$ 1.785.000

2. Kalau kemudian terjadi kenaikan pendapatan 10% dari golongan kaya (5%), dan pendaptan golongan miskin turun 20%, maka akan terlihat:

a. Total pendapatan penduduk kaya yang 5% menjadi = US$ 1.500.000 + US$ 150.000 = US$ 1.650.000
b. Total pendapatan penduduk menengah dan miskin yang 95% adalah = US$ 285.000 - US$ 57.000 = US$ 228.000.

3. Total pendapatan nasional baru adalah = US$ 1.650.000 + US$ 228.000 = US$ 1.878.000. Ini berarti telah terjadi pertumbuhan ekonomi sebesar =

US$ 1878.000 – US$ 1.785.000 = US$ 93.000 atau sama dengan (93.000 / 1.785.00) x 100% = 5,21%.

Dengan demikian dapat dipahami mengapa meskipun kita mengalami kenaikan pendapatan per kapita setiap tahun sekitar 5 - 6%, kemiskinan dalam masyarakat makin bertambah. Inilah barangkali yang dapat disebutkan sebagai growth with poverty atau bisa kita singkat sebagai groverty, atau dalam bahasa Indonesia dapat disebut sebagai pertumbuhan dengan kemiskinan atau disingkat sebagai pertumkin. Meskipun contoh tersebut memang dikemukakan secara agak menyolok, tetapi bagaimanapun, inilah yang sedang terjadi di Indonesia dewasa ini.

Akibat dari keadaan ini tidak mengherankan, kalau di satu pihak ada yang mengklaim bahwa proses pembangunan nasional berjalan mulus, ditandai dengan kenaikan pendapatan per kapita tiap tahun. Di lain pihak ada yang menuduh, pembangunan ekonomi gagal karena tidak dapat menghilangkan kemiskinan.

Singkatnya, yang menjadi masalah adalah melebarnya ketimpangan ekonomi antar penduduk dalam masyarakat, yang tidak sepenuhnya dapat ditunjukkan hanya dengan menggunakan indeks gini ratio. Untuk mengatasinya, diperlukan adanya pengamatan yang lebih seksama di lapangan dan kebijakan yang bersifat affirmatif memihak kepada golongan miskin, terutama kepada mereka yang ada di pedesaan.

*) Said Zainal Abidin adalah ahli majanemen pembangunan daerah (regional development management) dan kebijakan publik, guru besar STIA LAN. Sekarang sebagai penasihat KPK.

Kemiskinan Menurut Para Ahli
Definisi kemiskinan telah banyak dikemukakan oleh pakar dan lembaga yang terkait dengan permasalahan kemiskinan. Specker (1993) mengatakan bahwa kemiskinan mencakup (1) kekurangan fasilitas fisik bagi kehidupan yang normal, (2) gangguan dan tingginya risiko kesehatan, (3) risiko keamanan dan kerawanan kehidupan sosial ekonomi dan lingkungannya, (4) kekurangan pendapatan yang mengakibatkan tidak bisa hidup layak, dan (5) kekurangan dalam kehidupan sosial yang dapat ditunjukkan oleh ketersisihan sosial, ketersisihan dalam proses politik, dan kualitas pendidik yang rendah. Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial telah mendefinisikan kemiskinan sebagai berikut: Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya, kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman; serta diskriminasi dan keterasingan sosial. Kemiskinan juga dicirikan oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya. Maxwell (2007) menggunakan istilah kemiskinan untuk menggambarkan keterbatasan pendapatan dan konsumsi, keterbelakangan derajat dan martabat manusia, ketersingkiran sosial, keadaan yang menderita karena sakit, kurangnya kemampuan dan ketidakberfungsian fisik untuk bekerja, kerentanan (dalam menghadapi perubahan politik dan ekonomi), tiadanya keberlanjutan sumber kehidupan, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar, dan adanya perampasan relatif (relative deprivation). Poli (1993) menggambarkan kemiskinan sebagai keadaan; ketidakterjaminan pendapatan, kurangnya kualitas kebutuhan dasar, rendahnya kualitas perumahan dan aset-aset produktif; ketidakmampuan memelihara kesehatan yang baik, ketergantungan dan ketiadaan bantuan, adanya perilaku antisosial (anti-social behavior), kurangnya dukungan jaringan untuk mendapatkan kehidupan yang baik, kurangnya infrastruktur dan keterpencilan, serta ketidakmampuan dan keterpisahan. Bappenas dalam dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan juga mendefinisikan masalah kemiskinan bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga masalah kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin. Masalah kemiskinan juga menyangkut tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan bermartabat. Pemecahan masalah kemiskinan perlu didasarkan pada pemahaman suara masyarakat miskin, dan adanya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka, yaitu hak sosial, budaya, ekonomi dan politik. Oleh karena itu, strategi dan kebijakan yang dirumuskan dalam strategi nasional pengentasan kemiskinan didasarkan atas pendekatan berbasis hak (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2005).  Menurut Sallatang (1986) bahwa kemiskinan adalah ketidakcukupan penerimaan pendapatan dan pemilikan kekayaan materi, tanpa mengabaikan standar atau ukuran-ukuran fisiologi, psikologi dan sosial. Sementara itu, Esmara (1986) mengartikan kemiskinan ekonomi sebagai keterbatasan sumber-sumber ekonomi untuk mempertahankan kehidupan yang layak. Fenomena kemiskinan umumnya dikaitkan dengan kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Menurut Basri (1995) bahwa kemiskinan pada dasarnya mengacu pada keadaan serba kekurangan dalam pemenuhan sejumlah kebutuhan, seperti sandang, pangan, papan, pekerjaan, pendidikan, pengetahuan, dan lain sebagainya. Sementara itu, menurut Badan Pusat Statistik (2000), kemiskinan didefinisikan sebagai pola konsumsi yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. 


Maksud pertumbuhan dan pemerataan dalam konteks pembangunan ekonomi Indonesia selama ini
Tujuan dari pembangunan adalah kemakmuran bersama. Pemerataan hasil pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk menciptakan kemakmuran bersama merupakan tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Tingkat pertumbuhan yang tinggi tanpa disertai pemerataan pembangunan hanyalah menciptakan perekonomian yang lemah dan eksploitasi sumber daya manusia yang tinggi untuk menciptakan kemakmuran bersama. Dari segi pendidikan, Indonesia masih mengalami masalah ketidakmerataan pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan akan mengakibatkan rendahnya produktivitas dan berakibat pula pada rendahnya tingkat pendapatan. Kesenjangan tingkat pendidikan mengakibatkan adanya kesenjangan tingkat pendapatan yang semakin besar. Pemerataan hasil pembangunan perlu diupayakan supaya pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pemerataan pendidikan dan pemerataan fasilitas kesehatan merupakan salah satu upaya penting yang diharapkan meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dengan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Dan banyak hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangynan Indonesia, sebagai contoh dengan mengefisiensikan penerimaan pajak, meningkatkan perdagangan dengan luar negeri, meningkatkan investasi langsung dan lain sebagainya.

Sumber :

BAB 11 KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH

BAB 11 KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH

·         Kebijakan Pemerintah  
Kebijakan Dalam Negeri Pemerintah Orde Baru adalah tema yang akan kita bahas pada subbab kali ini. Struktur perekonomian Indonesia pada tahun 1950-1965 dalam keadaan kritis. Pemerintah Orde Baru meletakkan landasan yang kuat dalam pelaksanaan pembangunan melalui tahapan Repelita, keadaan kritis ditandai oleh hal-hal sebagai berikut Kebijakan Pemerintah Masa Orde baru:


a. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di sektor pertanian sehingga struktur perekonomian Indonesia lebih condong pada sektor pertanian.


b. Komoditas ekspor Indonesia dari bahan mentah (hasil pertanian) menghadapi persaingan di pasaran internasional, misalnya karet alam dari Malaysia, gula tebu dari Meksiko, kopi dari Brasil, dan rempah-rempah dari Zanzibar (Afrika), sehingga devisa negara sangat rendah dan tidak mampu mengimpor bahan kebutuhan pokok masyarakat yang saat itu belum dapat diproduksi di dalam negeri.


c. Tingkat investasi rendah dan kurangnya tenaga ahli di bidang industri, sehingga industri dalam negeri kurang berkembang.


d. Tingkat pendapatan rata-rata penduduk Indonesia sangat rendah. Tahun 1960-an hanya mencapai 70 dolar Amerika per tahun, lebih rendah dari pendapatan rata-rata penduduk India, Bangladesh, dan Nigeria saat itu.


e. Produksi Nasional Bruto (PDB) per tahun sangat rendah. Di sisi lain pertumbuhan penduduk sangat tinggi (rata-rata 2,5% per tahun dalam tahun 1950-an).


f. Indonesia sebagai pengimpor beras terbesar di dunia.
Kebijakan Pemerintah Masa Orde baru

g. Struktur perekonomian pada akhir tahun 1965, berada dalam keadaan yang sangat merosot. Tingkat inflasi telah mencapai angka 65% dan sarana ekonomi di daerah-daerah berada dalam keadaan rusak berat karena ulah kaum PKI/BTI yang saat itu berkuasa dan dengan sengaja ingin mengacaukan situasi ekonomi rakyat yang menentangnya.


Tugas pemerintah Orde Baru adalah menghentikan proses kemerosotan ekonomi dan membina landasan yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi ke arah yang wajar. Dalam mengemban tugas utama tersebut, berbagai kebijaksanaan telah diambil sebagaimana tertuang dalam program jangka pendek berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebutuhan sandang.


Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila laju inflasi telah dapat terkendalikan dan suatu tingkat stabilitas tercapai, barulah dapat diharapkan pulihnya kegiatan ekonomi yang wajar serta terbukanya kesempatan bagi peningkatan produksi. Dengan usaha keras tercapai tingkat perekonomian yang stabil dalam waktu relatif singkat. Sejak 1 April 1969 pemerintah telah meletakkan landasan dimungkinkannya gerak tolak pembangunan dengan ditetapkannya Repelita I. Dengan makin pulihnya situasi ekonomi, pada tahun 1969 bangsa Indonesia mulai melaksanakan pembangunan lima tahun yang pertama.


Berbagai prasarana penting direhabilitasi serta iklim usaha dan investasi dikembangkan. Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas yang sangat tinggi karena menjadi kunci bagi pemenuhan kebutuhan pangan rakyat dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat. Repelita I dapat dilaksanakan dan selesai dengan baik, bahkan berbagai kegiatan pembangunan dipercepat sehingga dapat diikuti oleh Repelita selanjutnya. Perhatian khusus pada sektor terbesar yang bermanfaat menghidupi rakyat, yaitu sektor pertanian. Sektor pertanian harus dibangun lebih dahulu, sektor ini harus ditingkatkan produktivitasnya. Bertumpu pada sektor pertanian yang makin tangguh itu kemudian barulah dibangun sektor-sektor lain.


Demikianlah pada tahap-tahap awal pembangunan, secara sadar bangsa Indonesia memberikan prioritas yang sangat tinggi pada bidang pertanian. Pembangunan yang dilaksanakan, yaitu membangun berbagai prasarana pertanian, seperti irigasi dan perhubungan, cara-cara bertani, dan teknologi pertanian yang diajarkan dan disebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan penyuluhan. Penyediaan sarana penunjang utama, seperti pupuk, diamankan dengan membangun pabrik-pabrik pupuk. Kebutuhan pembiayaan para petani disediakan melalui kredit perbankan. Pemasaran hasil produksi mereka, kita berikan kepastian melalui kebijakan harga dasar dan kebijakan stok beras.



Strategi yang memprioritaskan pembangunan di bidang pertanian dan berkat ketekunan serta kerja keras bangsa Indonesia, khususnya para petani, produksi pangan dapat terus ditingkatkan. Akhirnya, pada tahun 1984 bangsa Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Hal ini merupakan titik balik yang sangat penting sebab dalam tahun 1970-an, Indonesia merupakan negara pengimpor beras terbesar di dunia. Bersamaan dengan itu tercipta pula lapangan kerja dan sumber mata pencaharian bagi para petani. Swasembada beras itu sekaligus memperkuat ketahanan nasional di bidang ekonomi, khususnya pangan.Kebijakan Pemerintah Masa Orde baru


Dengan ditetapkannya Repelita I untuk periode 1969/19701973/1974, merupakan awal pembangunan periode 25 tahun pertama (PJP I tahun 1969/ 1970-1993/1994). Pembangunan dalam periode PJP I dimulai dengan pelaksanaan Repelita I dengan strategi dasar diarahkan pada pencapaian stabilisasi nasional (ekonomi dan politik), pertumbuhan ekonomi, serta menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian. Ditempatkannya stabilitas dan pertumbuhan ekonomi sebagai strategi dasar dalam Repelita I tersebut dengan pertimbangan untuk melaksanakan Repelita sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah ditentukan (diprioritaskan).


Demikian pula pertimbangan untuk menitikberatkan pembangunan pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian, didasarkan pertimbangan bahwa Indonesia adalah negara bercorak agraris yang sebagian besar penduduknya (65%-75%) bermata pencaharian di bidang pertanian (termasuk kehutanan, perkebunan, perikanan, dan peternakan). Ini berarti sektor pertanian memberi sumbangan terbesar kepada penerimaan devisa dan lapangan kerja. Mengingat pula bahwa sektor ini masih memiliki kapasitas lebih yang belum dimanfaatkan. Oleh karena itu, salah satu indikasi yang disimpulkan dalam Repelita I ini adalah perlunya pengarahan sumber-sumber (resourceS ke sektor pertanian. Secara lebih khusus, hal ini berarti meningkatkan produksi pangan dan ekspor.


Adanya hubungan antarberbagai kegiatan ekonomi (inter-sectoral) maka pertanian sebagai sektor pemimpin, diharapkan dapat menarik dan mendorong sektor-sektor lainnya, antara lain sektor industri yang menunjang sektor pertanian, seperti pabrik pupuk, insektisida serta prasarana ekonomi lainnya, misalnya sarana angkutan dan jalan. Kegiatan pembangunan selama Pelita I telah menunjukkan hasil-hasil yang cukup menggembirakan, antara lain produksi beras telah meningkat dari 11,32 juta ton menjadi 14 juta ton; pertumbuhan ekonomi dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun; pendapatan rata-rata penduduk (pendapatan per kapita) dari 80 dolar Amerika dapat ditingkatkan menjadi 170 dolar Amerika. Tingkat inflasi dapat ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I (1973/1974).


Repelita II untuk periode 1974/1975-1978/1979 dengan strategi dasar diarahkan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, stabilitas nasional, dan pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan peningkatan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Setelah Repelita II dilanjutkan dengan Repelita III untuk periode 1979/ 1980-1983/1984, yakni dengan titik berat pembangunan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Repelita III dilanjutkan dengan Repelita IV (1984/1985-1988/1989) dengan titik berat pada sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya. Pembangunan sektor industri meliputi industri yang menghasilkan barang ekspor, industri yang banyak menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri. PJP I telah diakhiri dengan Repelita V (1989/1990-1993/1994). Tahun 1973, Majelis Permusyawaratan Rakyat merumuskan dan menetapkan GBHN pertama merupakan strategi pembangunan nasional.
·        
 Kebijakan Moneter
Dengan bekal sistem moneter termasuk lembaga-lembaga keuangan yang telah diciptakan dalam Repelita-repelita terda­hulu, kebijaksanaan moneter dan perkreditan merupakan sarana untuk pembentukan tabungan masyarakat dan pengarahan penggu­naannya untuk pembangunan. Bersama-sama dengan tabungan Peme­rintah serta penyisihan keuntungan perusahaan dan bentuk-ben­tuk tabungan lain, tabungan masyarakat lewat lembaga-lembaga keuangan merupakan dana-dana yang terkumpul dari dalam nege­ri. Dan semua ini bersama dengan dana yang berasal dari luar negeri, lewat penanaman modal langsung, bantuan dan pinjaman, merupakan keseluruhan dana untuk pembiayaan kegiatan-kegiatan investasi dalam pembangunan nasional.
Kebijaksanaan anggaran negara sangat menentukan dalam penciptaan  tabungan Pemerintah serta penyalurannya dalam ke‑

giatan-kegiatan yang diprioritaskan, sedang kebijaksanaan mo­neter dan perkreditan sangat menentukan dalam hal yang sama untuk sektor swasta. Karena perkembangan yang tidak secerah Repelita III dalam sektor penerimaan pemerintah, maka sektor swasta harus berkembang lebih pesat untuk melengkapi kegiatan pemupukan dana tersebut. Dalam hubungan dengan pola pembangu-   ­nan jangka panjang, Repelita IV menduduki tempat yang khusus, karena diharapkan dalam Repelita IV tercipta kerangka landa-  san bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang terus, untuk kemudian dimantapkan landasan tersebut dalam Repelita            V, sehingga dalam Repelita VI bangsa Indonesia sudah benar-  benar dapat tinggal landas untuk memacu pembangunan menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pan­casila. Berhubung dengan itu peranan yang makin meningkat         dari sektor swasta tersebut lebih diperlukan lagi.
Dalam hubungan ini kebijaksanaan moneter dan perkreditan akan diarahkan sehingga mampu menunjang terciptanya suasana      yang mendorong peningkatan kegiatan masyarakat untuk mencapai sasaran-sasaran di atas. Dalam kebijaksanaan moneter-perbank­-       an 1 Juni 1983 dasar pendekatan untuk mendorong kegiatan ma­syarakat ini telah diletakkan. Perbankan dan lembaga-lembaga keuangan lainnya didorong untuk meningkatkan fungsinya dalam perantaraan keuangan, dengan lebih memberikan tanggungjawab kepada mereka dalam melaksanakan fungsi tersebut. Baik dalam pengumpulan tabungan maupun dalam penyalurannya, perbankan diberi tanggungjawab yang lebih besar untuk menentukannya, dengan beberapa pengecualian.
Pola kebijaksanaan yang telah diterapkan pada perbankan merupakan dasar bagi kebijaksanaan moneter dan perkreditan       dalam Repelita IV, sehingga  bersama-sama dengan kebijaksana‑

an anggaran dan neraca pembayaran dapat menunjang tercapainya sasaran-sasaran yang telah ditetapkan.

II. PERKEMBANGAN SELAMA REPELITA III
Kebijaksanaan di bidang moneter dan perkreditan selama Repelita III adalah melanjutkan dan meningkatkan serta me­nyempurnakan apa yang telah dilakukan di dalam Repelita II, yaitu meliputi usaha peningkatan pemupukan tabungan masyara­- kat, pengarahan pemberian kredit untuk menunjang pengembangan dunia usaha, terutama usaha golongan ekonomi lemah, serta le­-  bih menyempurnakan dan meningkatkan efisiensi dan peranan lembaga-lembaga keuangan dalam mencapai sistem kelembagaan       yang lebih sehat dan lengkap.
Di dalam usaha peningkatan pemupukan tabungan masyarakat tersebut, kebijaksanaan yang ditempuh adalah mendorong kebia-saan menabung di kalangan masyarakat dalam bentuk deposito berjangka pada Bank-bank Pemerintah, Tabanas/Taska, Sertifi-  kat deposito, serta pembelian surat obligasi dan saham. Jum­-  lah deposito berjangka yang dalam tahun 1978/79 mencapai Rp.707,9 milyar dalam perkembangannya telah mencapai          Rp.2.205,8 milyar pada bulan Desember 1983.
Selama lebih dari empat tahun dalam Repelita III suku     bunga deposito berjangka tidak mengalami perubahan yaitu ber­kisar antara 6% - 15% setahun. Pada 1 Juni 1983 Pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan baru, antara lain memberi tanggung jawab yang lebih besar kepada Bank-bank Pemerintah
untuk menetapkan suku bunga deposito berjangka tersebut. Di samping itu berlaku pula ketentuan tentang penghapusan pajak atas bunga, dividen dan royalty (PBDR) bagi deposito valuta asing di bank-bank.

Dalam hal Tabanas, Pemerintah mengeluarkan ketentuan           untuk menaikkan batas jumlah saldo tabungan. Dengan demikian suku bunga Tabanas tetap 15% setahun untuk saldo tabungan sampai dengan Rp. 1.000.000,- dan 12% setahun untuk saldo tabungan diatas Rp. 1.000.000,-. Ketentuan tersebut dimak-  sudkan untuk merangsang penabung-penabung kecil, seperti pe­lajar, pegawai dan lain-lain untuk menyimpan uang mereka di bank.
Ketentuan tentang Taska tidak mengalami perubahan yaitu Taska yang di angsur penuh 1 tahun dikenakan bunga 9% setahun, dan Taska yang di tarik sebelum jatuh waktu, berlaku suku bu-  nga 6% setahun. Jumlah Tabanas/Taska yang dalam tahun 1978/79 adalah sebesar Rp. 200,1 milyar dengan jumlah penabung 7.606.678, telah meningkat menjadi Rp. 516,4 milyar dengan 10.850.334 penabung pada akhir Desember 1983.
Kebijaksanaan perkreditan dalam Repelita III meliputi langkah-langkah untuk meningkatkan usaha golongan ekonomi le-mah, mendorong perluasan kesempatan kerja, pemerataan penda­patan, serta menjaga kestabilan moneter.
Usaha untuk meningkatkan kemampuan berusaha golongan ekonomi lemah dilakukan melalui penyediaan kredit dalam        bentuk Kredit Investasi Kecil (KIK)/Kredit. Modal Kerja Per­manen. (RMKP), Kredit Mini, Kredit Midi, Kredit Candak Kulak (KCK), Kredit Bimas dan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Selama pelaksanaan 5 tahun Repelita III persyaratan kredit-kredit untuk golongan ekonomi lemah tersebut senantiasa diperingan dan di sempurnakan.

Program kredit  lainnya adalah program perkreditan atas


dasar kelayakan usaha, dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek atau kegiatan yang dibiayai dengan APBN, dikenal sebagai pin­jaman menurut Keppres 14A. Selanjutnya program kredit pemili­-kan rumah (KPR) diadakan oleh Pemerintah dengan maksud untuk membantu golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan mene­ngah untuk dapat memiliki rumah.
Secara keseluruhan jumlah kredit-kredit yang diperuntuk­kan bagi golongan ekonomi lemah selama Repelita III senantia-  ­sa meningkat sehingga menjadi Rp. 3.063 milyar pada akhir Desember 1983.
Selain kredit yang disediakan untuk golongan pengusaha ekonomi lemah, kebijaksanaan lainnya yang terpenting adalah program perkreditan dalam rangka mendorong ekspor non migas dan impor bahan baku, penolong, suku cadang dan barang modal tertentu.
Langkah-langkah kebijaksanaan di bidang kredit investasi selama Repelita III adalah dengan mengadakan penyederhanaan tatacara pemberian kredit, memberikan keringanan persyaratan kredit terutama kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, me­ningkatkan jumlah maksimum kredit serta memberikan kemudahan­kemudahan lainnya dalam rangka meningkatkan kegiatan usaha nasabah yang sedang menikmati fasilitas kredit investasi. Pemberian kredit investasi telah dimanfaatkan antara lain un­-tuk membiayai proyek pertambangan, perindustrian, perhubungan dan jasa-jasa, pembangunan/pemugaran pasar Inpres, pembangun­- an gedung serta pembelian peralatan akademis dari perguruan tinggi swasta dan pembelian kendaraan bermotor roda dua oleh guru-guru.
Kebijaksanaan perkreditan selama Repelita III senantiasa 191

berkaitan dengan usaha pengendalian perkembangan moneter yang dilakukan melalui penetapan pagu kredit perbankan. Dengan di­keluarkannya kebijaksanaan 1 Juni 1983 penetapan pagu kredit untuk semua bank ditiadakan. Selanjutnya Pemerintah memberi­-kan tanggungjawab yang lebih besar kepada bank-bank Pemerin­-tah untuk menetapkan suku bunga kredit, dengan beberapa pe­ngecualian antara lain untuk Kredit Mini dan Midi, KIK/KMKP, Kredit Bimas, kredit Investasi sampai Rp. 75 juta, kredit pencetakan sawah, kredit perkebunan inti rakyat (PIR), pere­majaan-rehabilitasi dan perluasan tanaman ekspor (PRPTE), kredit perkebunan swasta nasional, kredit pemilikan rumah, kredit mahasiswa, kredit untuk produksi, impor, penyaluran pupuk dan obat hama untuk Bimas, dan kredit ekspor. Ditiada­kannya pagu kredit dan diberikannya tanggungjawab dalam me­nentukan suku bunga kredit, memungkinkan bank-bank Pemerintah untuk meningkatkan kreditnya dalam pembiayaan dunia usaha. Sampai akhir Desember 1983, jumlah seluruh kredit perbankan mencapai Rp. 15.324 milyar.
Selama Repelita III telah dilaksanakan pengembangan sek­-tor perbankan, baik yang menyangkut aspek kelembagaannya mau­pun kegiatan usahanya. Kebijaksanaan tersebut meliputi usaha untuk menyempurnakan administrasi dan organisasi bank-bank Pemerintah, mendorong peranan bank-bank Pemerintah untuk me­lakukan penyertaan modal kepada perusahaan-perusahaan pribu-  mi, meningkatkan bantuan teknis dan keuangan kepada bank-bank pembangunan daerah, dan meningkatkan peranan bank umum swasta nasional serta perluasan pelayanannya di daerah-daerah.
Lembaga keuangan bukan bank (LKBB) mempunyai peranan penting dalam menunjang pengerahan dana dari masyarakat dan menyalurkan dana-dana tersebut bagi kegiatan yang produktif.

Pengembangan usaha LKBB juga dilakukan melalui pembinaan ke­lembagaan serta kegiatan usahanya. Kegiatan usaha LKBB pada dasarnya bersifat memperluas ruang lingkup penyertaan modal dalam perusahaan, serta perdagangan surat-surat berharga di­pasar modal. Kepada LKBB telah banyak diberi kesempatan untuk dapat menjadi trustee dan atau penanggung atas penerbitan ob­ligasi.
Selain dari LKBB tersebut di atas, terdapat pula jenis LKBB lain yang khusus diperuntukkan bagi pengembangan usaha golongan ekonomi lemah, yaitu PT Bahana, PT Askrindo dan Lem­baga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK). Kegiatan usaha PT Ask­rindo telah diperluas yaitu selain menjamin kredit yang dibe­rikan bank kepada pengusaha ekonomi lemah juga menjamin per­tanggungan atas kredit ekspor dan asuransi ekspor. Sedangkan PT. Bahana tugasnya tidak kalah penting yaitu memberikan ban­tuan manajemen kepada perusahaan kecil, di samping menyedia­kan kredit penjembatanan.
Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) didirikan Peme­rintah dengan tujuan utama untuk memberikan jaminan atas kre­dit yang diberikan oleh Bank Rakyat Indonesia kepada kopera-    si-koperasi. Pada akhir Desember 1982 LJKK di bubarkan untuk kemudian di rubah dan diperluas usahanya menjadi Perum Pengem­bangan Keuangan Koperasi. Dalam Repelita III sampai akhir Ma-ret 1983 nilai pertanggungan kepada koperasi yang diberikan LJKK/Perum PKK meliputi Rp. 127,7 milyar.
Bidang perasuransian telah mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan selama Repelita III. Perkembangan ini karena didorong terutama oleh semakin mantapnya keadaan pere-konomian kita, serta semakin meningkatnya minat masyarakat

untuk menggunakan jasa-jasa perusahaan asuransi. Kebijaksana­-  an Pemerintah untuk meningkatkan peranan sektor asuransi di­laksanakan dengan mengarahkan kegiatan usaha perasuransian        pada pola pengusahaan yang sehat, meningkatkan permodalan pe­rusahaan asuransi, serta meningkatkan pengawasan agar kepen­tingan masyarakat tertanggung dapat dilindungi semaksimal mungkin.
Hingga akhir Desember 1982 jumlah perusahaan asuransi meliputi 13 perusahaan asuransi jiwa, 5 perusahaan asuransi sosial dan 65 perusahaan asuransi kerugian. Berdasarkan kebi­jaksanaan tersebut di atas, maka jumlah dana investasi peru­sahaan-perusahaan asuransi terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam periode yang sama dana investasi peru­sahaan asuransi berjumlah sebesar Rp. 669,5 milyar, atau me­ngalami peningkatan hampir 200% dibandingkan dengan keadaan­-  nya pada akhir tahun Repelita II.
Pengembangan kegiatan pasar modal di Indonesia pada da­sarnya adalah untuk mempercepat proses pemerataan dalam pemi­likan saham perusahaan-perusahaan, pemerataan pendapatan, dan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengerahan dana bagi tujuan yang produktif.
Perkembangan pasar modal dalam Repelita III telah menun­jukkan peningkatan yang pesat, baik dilihat dari jumlah peru­sahaan-perusahaan yang menjual sahamnya melalui pasar modal, jenis saham yang diperjual belikan, maupun transaksi yang terjadi di bursa efek. Sampai akhir Desember 1983 terdapat 26 perusahaan/ badan usaha yang mengadakan emisi saham dan obli­gasi. Dari jumlah tersebut 23 perusahaan telah dapat memasya­rakatkan 57 juta saham dengan nilai sebesar Rp. 134,5 milyar,

dan 3 badan usaha telah menerbitkan obligasi dengan nilai        emisi Rp. 114,7 milyar.
Pembangunan yang semakin meningkat menuntut pula tercip­tanya pemantapan tingkat harga dan kestabilan ekonomi pada umumnya. Alat pengukur perkembangan tingkat harga (laju in­-flasi), selama Repelita III adalah Indeks Harga Konsumen         (IHK) yang merupakan gabungan dari IHK 17 kota dan mencakup barang dan jasa sekitar 115 - 150 jenis. Laju inflasi selama Repelita III cukup terkendali yaitu 19,13%, 15,85%, 9,80%,     8,40%, dan 7,33% masing-masing untuk tahun 1979/80, 1980/81, 1981/82, 1982/83 dan 1983/84 (sampai Desember 1983). Selama periode 5 tahun tersebut perkembangan harga telah dipengaruhi oleh berbagai kebijaksanaan Pemerintah seperti kebijaksanaan evaluasi rupiah, serta beberapa kali peningkatan harga pen­-jualan BBM di dalam negeri.
SASARAN KEBIJAKSANAAN MONETER DAN PERKREDITAN DI DALAM REPELITA IV
Kebijaksanaan moneter dan perkreditan di dalam Repelita       IV dilaksanakan dengan sasaran untuk menunjang tercapainya sasaran-sasaran pembangunan nasional yang secara umum telah digariskan, serta berbagai sasaran di dalam bidang moneter, perkreditan dan lembaga keuangan sendiri. Kedua kelompok sa­- saran ini saling kait mengkait, yang satu berhubungan dengan     yang lain dan tercapainya sasaran yang satu akan menunjang       yang lain. Meskipun penekanannya mungkin berbeda, pada dasar­-     nya kebijaksanaan moneter dan perkreditan dalam Repelita IV merupakan penerusan, peningkatan dan penyempurnaan langkah­-langkah kebijaksanaan yang telah dilaksanakan dalam Repelita     III.

Dengan pendekatan yang lebih bersifat tidak langsung, sesuai dengan jiwa dari kebijaksanaan 1 Juni 1983, kebijaksa­naan moneter dan perkreditan selama Repelita IV mempunyai sa­saran-sasaran pokok sebagai berikut :
1)   melanjutkan usaha pemerataan pembangunan dengan me­ningkatkan jumlah kredit yang berprioritas tinggi, terutama yang menunjang kegiatan golongan ekonomi le­mah, mendorong perluasan kesempatan kerja, serta me­nunjang produksi barang-barang ekspor,
2)   meningkatkan usaha mobilisasi tabungan masyarakat me­lalui lembaga-lembaga keuangan bank dan bukan bank termasuk pasar modal,
3)   memelihara dan meningkatkan kestabilan ekonomi, khu­susnya harga-harga barang-barang dan jasa-jasa yang mempengaruhi kegiatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,
4)   melanjutkan usaha peningkatan efisiensi, perbaikan manajemen dan administrasi lembaga-lembaga keuangan, baik perbankan maupun bukan bank, serta pasar modal, agar lembaga-lembaga keuangan tersebut lebih efektif      di dalam mobilisasi dana-dana masyarakat serta menya­lurkannya pada kegiatan-kegiatan pembangunan.
Sasaran-sasaran di atas saling berhubungan dan melengka-pi antara yang satu dengan yang lain. Karena itu harus selalu diusahakan serasinya usaha untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, tanpa ada yang dikorbankan.
Dalam sektor Pemerintah upaya untuk meningkatkan tabu­-ngan dilaksanakan dengan pembaharuan peraturan dan perbaikan aparat perpajakan. Dalam peningkatan tabungan masyarakat, ke‑

bijaksanaan moneter diusahakan untuk menunjang lembaga keua­-  ngan agar lebih efektif memobilisasikan dana-dana masyarakat. Semua ini diperlukan untuk terciptanya landasan yang tangguh     bagi kegiatan pembangunan yang dilaksanakan atas kemampuan sendiri serta secara terus-menerus dan berkesinambungan. De­-   ngan perkataan lain, suatu landasan pembangunan nasional yang nantinya memungkinkan terlaksananya tinggal landas.

Sumber :
KEBIJAKSANAAN MONETER DAN PERKREDITAN