BAB 11
KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH
Kebijakan
Dalam Negeri Pemerintah Orde Baru adalah tema yang akan kita bahas pada subbab
kali ini. Struktur perekonomian Indonesia pada tahun 1950-1965 dalam keadaan
kritis. Pemerintah Orde Baru meletakkan landasan yang kuat dalam pelaksanaan
pembangunan melalui tahapan Repelita, keadaan kritis ditandai oleh hal-hal
sebagai berikut Kebijakan Pemerintah Masa Orde baru:
a. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di sektor pertanian sehingga
struktur perekonomian Indonesia lebih condong pada sektor pertanian.
b. Komoditas ekspor Indonesia dari bahan mentah (hasil pertanian) menghadapi
persaingan di pasaran internasional, misalnya karet alam dari Malaysia, gula tebu
dari Meksiko, kopi dari Brasil, dan rempah-rempah dari Zanzibar (Afrika),
sehingga devisa negara sangat rendah dan tidak mampu mengimpor bahan kebutuhan
pokok masyarakat yang saat itu belum dapat diproduksi di dalam negeri.
c. Tingkat investasi rendah dan kurangnya tenaga ahli di bidang industri,
sehingga industri dalam negeri kurang berkembang.
d. Tingkat pendapatan rata-rata penduduk Indonesia sangat rendah. Tahun 1960-an
hanya mencapai 70 dolar Amerika per tahun, lebih rendah dari pendapatan rata-rata
penduduk India, Bangladesh, dan Nigeria saat itu.
e. Produksi Nasional Bruto (PDB) per tahun sangat rendah. Di sisi lain
pertumbuhan penduduk sangat tinggi (rata-rata 2,5% per tahun dalam tahun
1950-an).
f. Indonesia sebagai pengimpor beras terbesar di dunia.
Kebijakan Pemerintah Masa Orde baru
g. Struktur perekonomian pada akhir tahun 1965, berada dalam keadaan yang
sangat merosot. Tingkat inflasi telah mencapai angka 65% dan sarana ekonomi di
daerah-daerah berada dalam keadaan rusak berat karena ulah kaum PKI/BTI yang
saat itu berkuasa dan dengan sengaja ingin mengacaukan situasi ekonomi rakyat
yang menentangnya.
Tugas pemerintah Orde Baru adalah menghentikan proses kemerosotan ekonomi dan
membina landasan yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi ke arah yang wajar. Dalam
mengemban tugas utama tersebut, berbagai kebijaksanaan telah diambil
sebagaimana tertuang dalam program jangka pendek berdasarkan Tap. MPRS No.
XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan usaha
rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan
kebutuhan sandang.
Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila laju inflasi
telah dapat terkendalikan dan suatu tingkat stabilitas tercapai, barulah dapat
diharapkan pulihnya kegiatan ekonomi yang wajar serta terbukanya kesempatan
bagi peningkatan produksi. Dengan usaha keras tercapai tingkat perekonomian
yang stabil dalam waktu relatif singkat. Sejak 1 April 1969 pemerintah telah
meletakkan landasan dimungkinkannya gerak tolak pembangunan dengan
ditetapkannya Repelita I. Dengan makin pulihnya situasi ekonomi, pada tahun
1969 bangsa Indonesia mulai melaksanakan pembangunan lima tahun yang pertama.
Berbagai prasarana penting direhabilitasi serta iklim usaha dan investasi
dikembangkan. Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas yang sangat tinggi
karena menjadi kunci bagi pemenuhan kebutuhan pangan rakyat dan sumber
kehidupan sebagian besar masyarakat. Repelita I dapat dilaksanakan dan selesai
dengan baik, bahkan berbagai kegiatan pembangunan dipercepat sehingga dapat
diikuti oleh Repelita selanjutnya. Perhatian khusus pada sektor terbesar yang
bermanfaat menghidupi rakyat, yaitu sektor pertanian. Sektor pertanian harus
dibangun lebih dahulu, sektor ini harus ditingkatkan produktivitasnya. Bertumpu
pada sektor pertanian yang makin tangguh itu kemudian barulah dibangun
sektor-sektor lain.
Demikianlah pada tahap-tahap awal pembangunan, secara sadar bangsa Indonesia
memberikan prioritas yang sangat tinggi pada bidang pertanian. Pembangunan yang
dilaksanakan, yaitu membangun berbagai prasarana pertanian, seperti irigasi dan
perhubungan, cara-cara bertani, dan teknologi pertanian yang diajarkan dan
disebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan penyuluhan. Penyediaan
sarana penunjang utama, seperti pupuk, diamankan dengan membangun pabrik-pabrik
pupuk. Kebutuhan pembiayaan para petani disediakan melalui kredit perbankan.
Pemasaran hasil produksi mereka, kita berikan kepastian melalui kebijakan harga
dasar dan kebijakan stok beras.
Strategi yang memprioritaskan pembangunan di bidang pertanian dan berkat
ketekunan serta kerja keras bangsa Indonesia, khususnya para petani, produksi
pangan dapat terus ditingkatkan. Akhirnya, pada tahun 1984 bangsa Indonesia
berhasil mencapai swasembada beras. Hal ini merupakan titik balik yang sangat
penting sebab dalam tahun 1970-an, Indonesia merupakan negara pengimpor beras
terbesar di dunia. Bersamaan dengan itu tercipta pula lapangan kerja dan sumber
mata pencaharian bagi para petani. Swasembada beras itu sekaligus memperkuat
ketahanan nasional di bidang ekonomi, khususnya pangan.Kebijakan Pemerintah Masa Orde baru
Dengan ditetapkannya Repelita I untuk periode 1969/19701973/1974, merupakan
awal pembangunan periode 25 tahun pertama (PJP I tahun 1969/ 1970-1993/1994).
Pembangunan dalam periode PJP I dimulai dengan pelaksanaan Repelita I dengan
strategi dasar diarahkan pada pencapaian stabilisasi nasional (ekonomi dan
politik), pertumbuhan ekonomi, serta menitikberatkan pada sektor pertanian dan
industri yang menunjang sektor pertanian. Ditempatkannya stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi sebagai strategi dasar dalam Repelita I tersebut dengan
pertimbangan untuk melaksanakan Repelita sesuai dengan tahapan-tahapan yang
telah ditentukan (diprioritaskan).
Demikian pula pertimbangan untuk menitikberatkan pembangunan pada sektor
pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian, didasarkan pertimbangan
bahwa Indonesia adalah negara bercorak agraris yang sebagian besar penduduknya
(65%-75%) bermata pencaharian di bidang pertanian (termasuk kehutanan,
perkebunan, perikanan, dan peternakan). Ini berarti sektor pertanian memberi
sumbangan terbesar kepada penerimaan devisa dan lapangan kerja. Mengingat pula
bahwa sektor ini masih memiliki kapasitas lebih yang belum dimanfaatkan. Oleh
karena itu, salah satu indikasi yang disimpulkan dalam Repelita I ini adalah
perlunya pengarahan sumber-sumber (resourceS ke sektor pertanian. Secara lebih
khusus, hal ini berarti meningkatkan produksi pangan dan ekspor.
Adanya hubungan antarberbagai kegiatan ekonomi (inter-sectoral) maka pertanian
sebagai sektor pemimpin, diharapkan dapat menarik dan mendorong sektor-sektor
lainnya, antara lain sektor industri yang menunjang sektor pertanian, seperti
pabrik pupuk, insektisida serta prasarana ekonomi lainnya, misalnya sarana
angkutan dan jalan. Kegiatan pembangunan selama Pelita I telah menunjukkan
hasil-hasil yang cukup menggembirakan, antara lain produksi beras telah
meningkat dari 11,32 juta ton menjadi 14 juta ton; pertumbuhan ekonomi dari
rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun; pendapatan rata-rata penduduk (pendapatan
per kapita) dari 80 dolar Amerika dapat ditingkatkan menjadi 170 dolar Amerika.
Tingkat inflasi dapat ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I (1973/1974).
Repelita II untuk periode 1974/1975-1978/1979 dengan strategi dasar diarahkan
pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, stabilitas nasional, dan
pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan peningkatan
industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Setelah Repelita II
dilanjutkan dengan Repelita III untuk periode 1979/ 1980-1983/1984, yakni
dengan titik berat pembangunan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan
dan meningkatkan industri mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Repelita III
dilanjutkan dengan Repelita IV (1984/1985-1988/1989) dengan titik berat pada
sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi
hasil pertanian lainnya. Pembangunan sektor industri meliputi industri yang
menghasilkan barang ekspor, industri yang banyak menyerap tenaga kerja,
industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan
mesin-mesin industri. PJP I telah diakhiri dengan Repelita V
(1989/1990-1993/1994). Tahun 1973, Majelis Permusyawaratan Rakyat merumuskan
dan menetapkan GBHN pertama merupakan strategi pembangunan nasional.
·
Kebijakan Moneter
Dengan
bekal sistem moneter termasuk lembaga-lembaga keuangan yang telah diciptakan dalam Repelita-repelita terdahulu,
kebijaksanaan moneter dan perkreditan merupakan sarana untuk pembentukan tabungan masyarakat dan pengarahan penggunaannya untuk pembangunan. Bersama-sama dengan
tabungan Pemerintah serta penyisihan keuntungan perusahaan dan bentuk-bentuk
tabungan lain, tabungan masyarakat lewat lembaga-lembaga keuangan merupakan dana-dana yang terkumpul dari
dalam negeri. Dan semua ini bersama
dengan dana yang berasal dari luar negeri, lewat penanaman modal langsung, bantuan dan
pinjaman, merupakan keseluruhan dana untuk pembiayaan kegiatan-kegiatan investasi dalam pembangunan nasional.
Kebijaksanaan
anggaran negara sangat menentukan dalam penciptaan tabungan Pemerintah serta penyalurannya dalam
ke‑
giatan-kegiatan yang diprioritaskan,
sedang kebijaksanaan moneter dan perkreditan sangat menentukan dalam hal yang
sama untuk sektor swasta. Karena perkembangan yang tidak secerah Repelita III
dalam sektor penerimaan pemerintah, maka sektor swasta harus berkembang lebih
pesat untuk melengkapi kegiatan pemupukan dana tersebut. Dalam hubungan dengan
pola pembangu- nan jangka panjang,
Repelita IV menduduki tempat yang khusus, karena diharapkan dalam Repelita IV
tercipta kerangka landa- san bagi bangsa
Indonesia untuk tumbuh dan berkembang terus, untuk kemudian dimantapkan
landasan tersebut dalam Repelita
V, sehingga dalam Repelita VI bangsa Indonesia sudah benar- benar dapat tinggal landas untuk memacu
pembangunan menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Berhubung dengan itu peranan yang makin meningkat dari sektor swasta tersebut lebih
diperlukan lagi.
Dalam hubungan ini kebijaksanaan moneter dan perkreditan
akan diarahkan sehingga mampu menunjang terciptanya suasana yang mendorong peningkatan kegiatan
masyarakat untuk mencapai sasaran-sasaran di atas. Dalam kebijaksanaan
moneter-perbank- an 1 Juni 1983
dasar pendekatan untuk mendorong kegiatan masyarakat ini telah diletakkan.
Perbankan dan lembaga-lembaga keuangan lainnya didorong untuk meningkatkan
fungsinya dalam perantaraan keuangan, dengan lebih memberikan tanggungjawab
kepada mereka dalam melaksanakan fungsi tersebut. Baik dalam pengumpulan tabungan maupun dalam penyalurannya, perbankan
diberi tanggungjawab yang lebih besar untuk menentukannya, dengan beberapa
pengecualian.
Pola kebijaksanaan yang telah diterapkan pada perbankan
merupakan dasar bagi kebijaksanaan moneter dan perkreditan dalam Repelita
IV, sehingga bersama-sama dengan
kebijaksana‑
an anggaran dan neraca pembayaran
dapat menunjang tercapainya sasaran-sasaran yang telah ditetapkan.
II. PERKEMBANGAN SELAMA REPELITA III
Kebijaksanaan di bidang moneter dan
perkreditan selama Repelita III adalah melanjutkan dan meningkatkan serta menyempurnakan
apa yang telah dilakukan di dalam Repelita II, yaitu meliputi usaha peningkatan
pemupukan tabungan masyara- kat, pengarahan pemberian kredit untuk menunjang
pengembangan dunia usaha, terutama usaha golongan ekonomi lemah, serta le- bih menyempurnakan dan meningkatkan efisiensi
dan peranan lembaga-lembaga keuangan dalam mencapai sistem kelembagaan yang lebih sehat dan lengkap.
Di dalam usaha peningkatan pemupukan tabungan masyarakat
tersebut, kebijaksanaan yang ditempuh adalah mendorong kebia-saan menabung di
kalangan masyarakat dalam bentuk deposito berjangka pada Bank-bank Pemerintah,
Tabanas/Taska, Sertifi- kat deposito,
serta pembelian surat obligasi dan saham. Jum-
lah deposito berjangka yang dalam tahun 1978/79 mencapai Rp.707,9 milyar
dalam perkembangannya telah mencapai
Rp.2.205,8 milyar pada bulan Desember 1983.
Selama lebih dari empat tahun dalam Repelita III
suku bunga deposito berjangka tidak
mengalami perubahan yaitu berkisar antara 6% - 15% setahun. Pada 1 Juni 1983
Pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan baru, antara lain memberi tanggung jawab yang lebih
besar kepada Bank-bank Pemerintah
untuk menetapkan suku bunga deposito berjangka tersebut.
Di samping itu berlaku pula ketentuan tentang penghapusan pajak atas bunga,
dividen dan royalty (PBDR) bagi deposito valuta asing di bank-bank.
Dalam hal Tabanas, Pemerintah
mengeluarkan ketentuan untuk
menaikkan batas jumlah saldo tabungan. Dengan demikian suku bunga Tabanas tetap
15% setahun untuk saldo tabungan sampai dengan Rp. 1.000.000,- dan 12% setahun
untuk saldo tabungan diatas Rp. 1.000.000,-. Ketentuan tersebut dimak- sudkan untuk merangsang penabung-penabung
kecil, seperti pelajar, pegawai dan lain-lain untuk menyimpan uang mereka di
bank.
Ketentuan tentang Taska tidak
mengalami perubahan yaitu Taska yang di angsur penuh 1 tahun dikenakan bunga 9%
setahun, dan Taska yang di tarik sebelum jatuh waktu, berlaku suku bu- nga 6% setahun. Jumlah Tabanas/Taska yang
dalam tahun 1978/79 adalah sebesar Rp. 200,1 milyar dengan jumlah penabung
7.606.678, telah meningkat menjadi Rp. 516,4 milyar dengan 10.850.334 penabung
pada akhir Desember 1983.
Kebijaksanaan perkreditan dalam
Repelita III meliputi langkah-langkah untuk meningkatkan usaha golongan ekonomi
le-mah, mendorong perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, serta
menjaga kestabilan moneter.
Usaha untuk meningkatkan
kemampuan berusaha golongan ekonomi lemah dilakukan melalui penyediaan kredit
dalam bentuk Kredit Investasi
Kecil (KIK)/Kredit. Modal Kerja Permanen. (RMKP), Kredit Mini,
Kredit Midi, Kredit Candak Kulak (KCK), Kredit Bimas dan Kredit Pemilikan Rumah
(KPR). Selama pelaksanaan 5 tahun Repelita III persyaratan
kredit-kredit untuk golongan ekonomi lemah
tersebut senantiasa diperingan dan di sempurnakan.
Program
kredit lainnya adalah program
perkreditan atas
dasar kelayakan usaha, dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek atau kegiatan yang dibiayai dengan
APBN, dikenal sebagai pinjaman menurut Keppres 14A. Selanjutnya program kredit pemili-kan rumah (KPR) diadakan
oleh Pemerintah dengan maksud untuk membantu golongan masyarakat berpenghasilan rendah
dan menengah untuk dapat memiliki rumah.
Secara keseluruhan jumlah kredit-kredit yang diperuntukkan
bagi golongan ekonomi lemah selama Repelita III senantia- sa meningkat sehingga menjadi Rp.
3.063 milyar pada akhir Desember 1983.
Selain kredit yang disediakan untuk golongan pengusaha
ekonomi lemah, kebijaksanaan lainnya yang terpenting adalah program perkreditan
dalam rangka mendorong ekspor non migas dan impor bahan
baku, penolong, suku cadang dan barang modal tertentu.
Langkah-langkah kebijaksanaan
di bidang kredit investasi selama Repelita III adalah dengan
mengadakan penyederhanaan tatacara pemberian kredit,
memberikan keringanan persyaratan kredit terutama kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, meningkatkan jumlah maksimum kredit
serta memberikan kemudahankemudahan lainnya dalam rangka
meningkatkan kegiatan usaha nasabah yang sedang menikmati fasilitas kredit
investasi. Pemberian kredit investasi telah dimanfaatkan antara lain
un-tuk membiayai proyek pertambangan, perindustrian,
perhubungan dan jasa-jasa, pembangunan/pemugaran pasar Inpres,
pembangun- an gedung serta pembelian peralatan akademis dari
perguruan tinggi swasta dan pembelian kendaraan bermotor roda dua
oleh guru-guru.
Kebijaksanaan perkreditan selama
Repelita III senantiasa 191
berkaitan dengan usaha
pengendalian perkembangan moneter yang dilakukan melalui penetapan
pagu kredit perbankan. Dengan dikeluarkannya kebijaksanaan 1 Juni 1983
penetapan pagu kredit untuk semua bank ditiadakan. Selanjutnya Pemerintah
memberi-kan tanggungjawab yang lebih besar kepada bank-bank Pemerin-tah untuk
menetapkan suku bunga kredit, dengan beberapa pengecualian antara lain untuk Kredit
Mini dan Midi, KIK/KMKP, Kredit Bimas, kredit Investasi sampai Rp. 75 juta,
kredit pencetakan sawah, kredit perkebunan inti rakyat (PIR), peremajaan-rehabilitasi
dan perluasan tanaman ekspor (PRPTE), kredit perkebunan swasta nasional, kredit
pemilikan rumah, kredit mahasiswa, kredit untuk produksi, impor, penyaluran
pupuk dan obat hama untuk Bimas, dan kredit ekspor. Ditiadakannya pagu kredit
dan diberikannya tanggungjawab dalam menentukan suku
bunga kredit, memungkinkan bank-bank Pemerintah untuk meningkatkan
kreditnya dalam pembiayaan dunia usaha. Sampai akhir Desember 1983, jumlah
seluruh kredit perbankan mencapai Rp. 15.324 milyar.
Selama Repelita III telah
dilaksanakan pengembangan sek-tor perbankan, baik yang menyangkut aspek
kelembagaannya maupun kegiatan usahanya. Kebijaksanaan tersebut meliputi usaha
untuk menyempurnakan administrasi dan organisasi bank-bank Pemerintah,
mendorong peranan
bank-bank Pemerintah untuk melakukan
penyertaan modal kepada perusahaan-perusahaan pribu- mi,
meningkatkan bantuan teknis dan keuangan kepada bank-bank pembangunan
daerah, dan meningkatkan peranan bank umum swasta nasional serta perluasan pelayanannya di daerah-daerah.
Lembaga keuangan bukan bank (LKBB) mempunyai peranan
penting dalam menunjang pengerahan dana dari masyarakat dan menyalurkan
dana-dana tersebut bagi kegiatan yang produktif.
Pengembangan usaha LKBB juga dilakukan melalui
pembinaan kelembagaan serta kegiatan usahanya. Kegiatan usaha LKBB pada
dasarnya bersifat memperluas ruang lingkup penyertaan modal dalam perusahaan,
serta perdagangan surat-surat berharga dipasar modal. Kepada LKBB telah banyak diberi
kesempatan untuk dapat menjadi trustee dan atau penanggung atas penerbitan
obligasi.
Selain dari LKBB tersebut di atas, terdapat pula jenis
LKBB lain yang khusus diperuntukkan bagi pengembangan usaha golongan
ekonomi lemah, yaitu PT Bahana, PT Askrindo dan Lembaga Jaminan
Kredit Koperasi (LJKK). Kegiatan usaha PT Askrindo telah
diperluas yaitu selain menjamin kredit yang diberikan bank kepada
pengusaha ekonomi lemah juga menjamin pertanggungan atas
kredit ekspor dan asuransi ekspor. Sedangkan PT.
Bahana tugasnya tidak kalah penting yaitu memberikan bantuan
manajemen kepada perusahaan kecil, di samping menyediakan kredit
penjembatanan.
Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) didirikan Pemerintah
dengan tujuan utama untuk memberikan jaminan atas kredit yang
diberikan oleh Bank Rakyat Indonesia kepada kopera- si-koperasi. Pada akhir Desember 1982 LJKK
di bubarkan untuk kemudian di rubah dan diperluas usahanya menjadi
Perum Pengembangan Keuangan Koperasi. Dalam Repelita III sampai
akhir Ma-ret 1983 nilai pertanggungan kepada koperasi yang
diberikan LJKK/Perum PKK meliputi Rp. 127,7 milyar.
Bidang perasuransian telah mengalami perkembangan yang
cukup menggembirakan selama Repelita III. Perkembangan ini karena
didorong terutama oleh semakin mantapnya keadaan pere-konomian kita,
serta semakin meningkatnya minat masyarakat
untuk menggunakan jasa-jasa perusahaan asuransi.
Kebijaksana- an Pemerintah untuk
meningkatkan peranan sektor asuransi dilaksanakan dengan mengarahkan kegiatan
usaha perasuransian pada pola
pengusahaan yang sehat, meningkatkan permodalan perusahaan asuransi, serta
meningkatkan pengawasan agar kepentingan masyarakat tertanggung dapat
dilindungi semaksimal mungkin.
Hingga akhir Desember
1982 jumlah perusahaan asuransi meliputi 13 perusahaan asuransi jiwa, 5
perusahaan asuransi sosial dan 65 perusahaan asuransi kerugian. Berdasarkan
kebijaksanaan tersebut di atas, maka jumlah dana investasi perusahaan-perusahaan
asuransi terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam periode yang
sama dana investasi perusahaan asuransi berjumlah sebesar Rp. 669,5 milyar,
atau mengalami peningkatan hampir 200% dibandingkan dengan keadaan- nya pada akhir tahun Repelita II.
Pengembangan kegiatan pasar modal di
Indonesia pada dasarnya adalah untuk mempercepat proses pemerataan dalam pemilikan
saham perusahaan-perusahaan, pemerataan pendapatan, dan untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pengerahan dana bagi tujuan yang produktif.
Perkembangan pasar modal dalam Repelita III telah menunjukkan
peningkatan yang pesat, baik dilihat dari jumlah perusahaan-perusahaan yang
menjual sahamnya melalui pasar modal, jenis saham yang diperjual belikan,
maupun transaksi yang terjadi di bursa efek. Sampai akhir Desember 1983
terdapat 26 perusahaan/ badan usaha yang mengadakan emisi saham dan obligasi.
Dari jumlah tersebut 23 perusahaan telah dapat memasyarakatkan 57 juta
saham dengan nilai sebesar Rp. 134,5 milyar,
dan
3 badan usaha telah menerbitkan obligasi dengan nilai emisi Rp. 114,7 milyar.
Pembangunan yang semakin meningkat
menuntut pula terciptanya pemantapan tingkat harga dan kestabilan ekonomi pada
umumnya. Alat pengukur perkembangan tingkat harga (laju in-flasi), selama
Repelita III adalah Indeks Harga Konsumen (IHK) yang merupakan gabungan dari IHK
17 kota dan mencakup barang dan jasa sekitar 115 - 150 jenis. Laju inflasi
selama Repelita III cukup terkendali yaitu 19,13%, 15,85%, 9,80%, 8,40%, dan 7,33% masing-masing untuk tahun
1979/80, 1980/81, 1981/82, 1982/83 dan 1983/84 (sampai Desember 1983). Selama
periode 5 tahun tersebut perkembangan harga telah dipengaruhi oleh berbagai
kebijaksanaan Pemerintah seperti kebijaksanaan evaluasi rupiah, serta beberapa
kali peningkatan harga pen-jualan BBM di dalam negeri.
SASARAN
KEBIJAKSANAAN MONETER DAN PERKREDITAN DI DALAM
REPELITA IV
Kebijaksanaan moneter dan perkreditan di dalam Repelita IV dilaksanakan dengan sasaran untuk
menunjang tercapainya sasaran-sasaran pembangunan nasional yang secara umum
telah digariskan, serta berbagai sasaran di dalam bidang moneter, perkreditan
dan lembaga keuangan sendiri. Kedua kelompok sa- saran ini saling kait
mengkait, yang satu berhubungan dengan
yang lain dan tercapainya sasaran yang satu akan menunjang yang lain. Meskipun penekanannya mungkin
berbeda, pada dasar- nya
kebijaksanaan moneter dan perkreditan dalam Repelita IV merupakan penerusan,
peningkatan dan penyempurnaan langkah-langkah kebijaksanaan yang telah
dilaksanakan dalam Repelita III.
Dengan pendekatan yang lebih bersifat tidak langsung, sesuai dengan jiwa
dari kebijaksanaan 1 Juni 1983, kebijaksanaan moneter dan perkreditan selama
Repelita IV mempunyai sasaran-sasaran pokok sebagai berikut :
1) melanjutkan usaha pemerataan
pembangunan dengan meningkatkan jumlah kredit yang berprioritas tinggi,
terutama yang menunjang kegiatan golongan ekonomi lemah, mendorong perluasan kesempatan
kerja, serta menunjang produksi barang-barang ekspor,
2) meningkatkan usaha mobilisasi tabungan masyarakat melalui
lembaga-lembaga keuangan bank dan bukan bank termasuk pasar modal,
3) memelihara dan meningkatkan kestabilan
ekonomi, khususnya harga-harga barang-barang dan jasa-jasa yang mempengaruhi
kegiatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,
4) melanjutkan usaha peningkatan
efisiensi, perbaikan manajemen dan administrasi lembaga-lembaga keuangan, baik
perbankan maupun bukan bank, serta pasar modal, agar lembaga-lembaga keuangan
tersebut lebih efektif di dalam
mobilisasi dana-dana masyarakat serta menyalurkannya pada kegiatan-kegiatan
pembangunan.
Sasaran-sasaran
di atas saling berhubungan dan melengka-pi antara yang satu dengan yang lain. Karena itu
harus selalu diusahakan
serasinya usaha untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, tanpa ada yang
dikorbankan.
Dalam sektor Pemerintah upaya untuk meningkatkan tabu-ngan dilaksanakan
dengan pembaharuan peraturan dan perbaikan aparat perpajakan.
Dalam peningkatan tabungan masyarakat, ke‑
bijaksanaan moneter diusahakan untuk menunjang lembaga
keua- ngan agar lebih efektif
memobilisasikan dana-dana masyarakat. Semua ini diperlukan untuk terciptanya
landasan yang tangguh bagi kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan atas kemampuan sendiri serta secara terus-menerus
dan berkesinambungan. De- ngan
perkataan lain, suatu landasan pembangunan nasional yang nantinya
memungkinkan terlaksananya tinggal landas.
Sumber :
KEBIJAKSANAAN MONETER DAN PERKREDITAN