BAB 8 Struktur Produksi, Distribusi Pendapatan dan
Kemiskinan
Distribusi Pendapatan Nasional
Cara
distribusi pendapatan nasional akan menentukan bagaimana pandapatan nasional
yang tinggi mampu menciptakan perubahan-perubahan dan perbaikanperbaikan dalam
masyarakat, seperti mengurangi kemiskinan, penganguran dan kesulitan-kesulitan
lain dalam masyarakat. Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak
akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang
tidak merata hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja.
Perbedaan
pandapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan
faktor produksi. Pihak yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak akan
memperoleh pendapatan yang lebih banyak juga.
Ada sejumlah
alat atau media untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan. Alat
atau media yang lazim digunakan adalah Koefisien Gini (Gini Ratio) dan cara
perhitungan yang digunakan oleh Bank Dunia.
Koefisien
Gini biasanya diperlihatkan oleh kurva yang dinamakan Kurva Lorenz. Kurva ini
memperlihatkan hubungan kuantitatif antara prosentase penerimaan pendapatan
penduduk dengan prosentase pendapatan yang benar-benar diperoleh selama kurun
waktu tertentu, biasanya setahun.
Perhatikan
gambar berikut!
Dari gambar
di atas, sumbu horisontal menggambarkan prosentase kumulatif penduduk,
sedangkan sumbu vertikal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima
oleh masing-masing prosentase penduduk tersebut. Sedangkan garis diagonal di
tengah disebut “garis kemerataan sempurna”. Karena setiap titik pada garis
diagonal merupakan tempat kedudukan prosentase penduduk yang sama dengan
prosentase penerimaan pendapatan.
Semakin jauh
jarak garis kurva Lorenz dari garis diagonal, semakin tinggi tingkat
ketidakmerataannya. Sebaliknya semakin dekat jarak kurva Lorenz dari garis
diagonal, semakin tinggi tingkat pemerataan distribusi pendapatannya. Pada
gambar di atas, besarnya ketimpangan digambarkan sebagai daerah yang diarsir.
Dari uraian
di atas dapat dikatakan bahwa suatu distribusi pendapatan makin merata jika
nilai Koefisien Gini mendekati nol (0). Sebaliknya, suatu distribusi pendapatan
dikatakan makin tidak merata jika nilai Koefisien Gininya makin mendekati satu.
Perhatikan tabel 1.5.
Selain
penggunaan Koefisien Gini, untuk melihat distribusi pendapatan dapat
menggunakan kriteria yang ditentukan Bank Dunia (World Bank). Perhatikan tabel
1.6.
Menurut
teori neoklasik, perbedaan kepemilikan faktor produksi, lama kelamaan akan
hilang atau berkurang melalui suatu proses penyesuaian otomatis. Bila proses
otomatis tersebut masih belum mampu menurunkan perbedaan pendapatan yang sangat
timpang, maka dapat dilakukan melalui sistem perpajakan dan subsidi. Kedua
sistem ini dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan redistribusi
pendapatan.
Penetapan
pajak pendapatan/penghasilan akan mengurangi pendapatan penduduk yang
pendapatannya tinggi. Sebaliknya subsidi akan membantu penduduk yang
pendapatannya rendah, asalkan tidak salah sasaran dalam pemberiannya. Pajak
yang telah dipungut apalagi menggunakan sistem tarif progresif (semakin tinggi
pendapatan, semakin tinggi prosentase tarifnya), oleh pemerintah digunakan
untuk membiayai roda pemerintahan, subsidi dan proyek pembangunan. Dari sinilah
terjadi proses redistribusi pendapatan yang akan mengurangi terjadinya
ketimpangan.
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia
|
Pada akhir tahun tujuh puluhan orang mengenal istilah stagflation (stagnation and inflation), di mana inflasi terjadi berbarengan dengan stagnasi. Dewasa ini Indonesia menghadapi dua kondisi yang terjadi secara simultan yang sifatnya antagonistis, yakni pertumbuhan ekonomi berlangsung serentak dan kemiskinan. Dari satu segi, kondisi makro ekonomi berada dalam keadaan yang cukup meyakinkan. Tingkat inflasi relatif cukup terkendali pada tingkat satu digit, import-eksport berjalan cukup baik, tingkat bunga lumayan rendah dan cadangan devisa cukup tinggi untuk dapat menjamin import dalam waktu sedang, investasi cukup tinggi (angka-angkanya boleh dilihat sendiri dalam Laporan BPS, Laporan Bank Indonesia dan Nota Keuangan). Tetapi dari segi mikro, pengangguran dan kemiskinan makin meningkat. Urbanisasi meningkat terutama dari kelompok miskin dan pengemis. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga disemua kota-kota besar seluruh Indonesia. Semua ini menandakan adanya kemiskinan dan sempitnya kesempatan kerja di pedesaan. Dibandingkan dengan banyak negara lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak rendah. Bahkan ketika krisis keuangan global yang menimpa hampir semua negara, sebagai akibat dari krisis kredit perumahan (prime morgate loans) di Amerika, yang bermula pada tahun 2006 sampai tahun 2009, ekonomi Indonesia tidak mengalami goncangan yang berarti. Kemampuan untuk meredam akibat dari keuangan ini dapat terjadi berkat kebijakan makro ekonomi yang hati-hati dan tepat, di samping kondisi keterbukaan yang memangnya tidak sebesar negara-negara tetangga seperti Singapore dan Malaysia. Kemampuan Indonesia bertahan terhadap krisis keuangan tersebut menimbulkan keyakinan rakyat pada kemampuan pemerintah SBY Periode I, sehingga dapat memenangkan Pemilihan Umum untuk Priode II. Sayangnya keberhasilan dalam bidang ekonomi pada tataran makro ini tidak mampu menekan tingkat kemiskinan yang sejak lama sudah berlangsung. Selama masa yang panjang, sejak beberapa dekade yang lalu, di Indonesia berlangsung proses pemiskinan desa secara berkelanjutan. Dalam Era Orde Baru dikenal kebijaksanaan peningkatan ekspor non-migas. Sub-sektor industri non migas ini menjadi prioritas utama. Berbagai fasilitas diberikan kepadanya, termasuk hak untuk membayar upah buruh rendah. Upah buruh murah ini memang telah menjadi trade mark Indonesia dalam promosi penarikan modal asing. Asumsi yang dipakai, bahwa dengan upah buruh yang murah, maka harga pokok barang-barang yang diproduksi akan murah. Dengan demikian, produk eksport Indonesia mempunyai daya saing yang tinggi. Padahal, meskipun harga pokok mempunyai korelasi dengan daya saing, karena barang dapat dijual dengan harga murah, tetapi daya saing suatu barang tidak sekadar ditentukan oleh harga (pokok), tetapi juga oleh kualitas barang, teknik marketing , politik/ diplomasi dan lain-lain. Agar buruh (termasuk PNS) dapat hidup, maka harga bahan makanan harus dapat dipertahankan rendah. Inilah yang menjadi tugas pokok Bulog sejak waktu itu. Jika harga bahan makanan dalam negeri naik, Bulog segera harus mengimpor dari luar negeri. Rendahnya harga bahan makanan yang note bene hasil produksi petani, mengakibatkan terjadinya proses pemiskinan petani di daerah pedesaan secara berkelanjutan. Perbedaan dua kondisi yang yang berlangsung secara terus menerus tersebut selama masa yang panjang telah mengakibatkan semakin melebarnya ketimpangan ekonomi antar penduduk di Indonesia. Hal yang perlu diindahkan adalah, jika ketimpangan pendapatan antar penduduk sudah sangat lebar, akan terdapat kecenderungan mengaburnya pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran dari pembangunan. Artinya, setiap kita melihat adanya pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh peningkatan pendapatan per kapita, sulit dirasakan, pada saat yang sama boleh jadi sedang berlangsung proses pemiskinan. Sebagai contoh dari keadaan ini dapat ditunjukkan dengan angka-angka sederhana sebagai berikut: Jika misalnya, suatu negara berpenduduk 100 juta orang, terdapat 5% penduduk dengan pendapatan rata-rata US$ 300.000 per tahun, sementara 95% lainnya berpendapatan US $ 3000 per tahun (setingkat pendapatan rata-rata Indonesia sekarang). Andaikan, jika golongan penduduk kaya yang 5% itu naik pendapatannya 10% per tahun, sementara golongan menengah ke bawah yang 95% itu mengalami penurunan pendapatan per tahun sebesar 20%, akan terjadi kenaikan pendapatan rata-rata sebesar 5,21%. Hal ini dapat ditunjukan dengan perhitungan sederhana seperti berikut. 1. Total pendaptan semula adalah: a. 5 Juta X US$ 300.000 = US$ 1.500.000 b. 95 Juta X US$ 3.000 = US$ 285.000 Total pendaptan US$ 1.785.000 2. Kalau kemudian terjadi kenaikan pendapatan 10% dari golongan kaya (5%), dan pendaptan golongan miskin turun 20%, maka akan terlihat: a. Total pendapatan penduduk kaya yang 5% menjadi = US$ 1.500.000 + US$ 150.000 = US$ 1.650.000 b. Total pendapatan penduduk menengah dan miskin yang 95% adalah = US$ 285.000 - US$ 57.000 = US$ 228.000. 3. Total pendapatan nasional baru adalah = US$ 1.650.000 + US$ 228.000 = US$ 1.878.000. Ini berarti telah terjadi pertumbuhan ekonomi sebesar = US$ 1878.000 – US$ 1.785.000 = US$ 93.000 atau sama dengan (93.000 / 1.785.00) x 100% = 5,21%. Dengan demikian dapat dipahami mengapa meskipun kita mengalami kenaikan pendapatan per kapita setiap tahun sekitar 5 - 6%, kemiskinan dalam masyarakat makin bertambah. Inilah barangkali yang dapat disebutkan sebagai growth with poverty atau bisa kita singkat sebagai groverty, atau dalam bahasa Indonesia dapat disebut sebagai pertumbuhan dengan kemiskinan atau disingkat sebagai pertumkin. Meskipun contoh tersebut memang dikemukakan secara agak menyolok, tetapi bagaimanapun, inilah yang sedang terjadi di Indonesia dewasa ini. Akibat dari keadaan ini tidak mengherankan, kalau di satu pihak ada yang mengklaim bahwa proses pembangunan nasional berjalan mulus, ditandai dengan kenaikan pendapatan per kapita tiap tahun. Di lain pihak ada yang menuduh, pembangunan ekonomi gagal karena tidak dapat menghilangkan kemiskinan. Singkatnya, yang menjadi masalah adalah melebarnya ketimpangan ekonomi antar penduduk dalam masyarakat, yang tidak sepenuhnya dapat ditunjukkan hanya dengan menggunakan indeks gini ratio. Untuk mengatasinya, diperlukan adanya pengamatan yang lebih seksama di lapangan dan kebijakan yang bersifat affirmatif memihak kepada golongan miskin, terutama kepada mereka yang ada di pedesaan. *) Said Zainal Abidin adalah ahli majanemen pembangunan daerah (regional development management) dan kebijakan publik, guru besar STIA LAN. Sekarang sebagai penasihat KPK.
Kemiskinan
Menurut Para Ahli
Definisi kemiskinan telah banyak dikemukakan oleh
pakar dan lembaga yang terkait dengan permasalahan kemiskinan. Specker (1993)
mengatakan bahwa kemiskinan mencakup (1) kekurangan fasilitas fisik bagi
kehidupan yang normal, (2) gangguan dan tingginya risiko kesehatan, (3)
risiko keamanan dan kerawanan kehidupan sosial ekonomi dan lingkungannya, (4)
kekurangan pendapatan yang mengakibatkan tidak bisa hidup layak, dan (5)
kekurangan dalam kehidupan sosial yang dapat ditunjukkan oleh ketersisihan
sosial, ketersisihan dalam proses politik, dan kualitas pendidik yang rendah.
Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial telah mendefinisikan kemiskinan
sebagai berikut: Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya
tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan
berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan;
keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok
lainnya, kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat;
kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang
tidak aman; serta diskriminasi dan keterasingan sosial. Kemiskinan juga
dicirikan oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan
keputusan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya. Maxwell (2007)
menggunakan istilah kemiskinan untuk menggambarkan keterbatasan pendapatan
dan konsumsi, keterbelakangan derajat dan martabat manusia, ketersingkiran
sosial, keadaan yang menderita karena sakit, kurangnya kemampuan dan
ketidakberfungsian fisik untuk bekerja, kerentanan (dalam menghadapi
perubahan politik dan ekonomi), tiadanya keberlanjutan sumber kehidupan,
tidak terpenuhinya kebutuhan dasar, dan adanya perampasan relatif (relative
deprivation). Poli (1993) menggambarkan kemiskinan sebagai keadaan;
ketidakterjaminan pendapatan, kurangnya kualitas kebutuhan dasar, rendahnya
kualitas perumahan dan aset-aset produktif; ketidakmampuan memelihara
kesehatan yang baik, ketergantungan dan ketiadaan bantuan, adanya perilaku antisosial
(anti-social behavior), kurangnya dukungan jaringan untuk mendapatkan
kehidupan yang baik, kurangnya infrastruktur dan keterpencilan, serta
ketidakmampuan dan keterpisahan. Bappenas dalam dokumen Strategi Nasional
Penanggulangan Kemiskinan juga mendefinisikan masalah kemiskinan bukan hanya
diukur dari pendapatan, tetapi juga masalah kerentanan dan kerawanan orang
atau sekelompok orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin.
Masalah kemiskinan juga menyangkut tidak terpenuhinya hak-hak dasar
masyarakat miskin untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan
bermartabat. Pemecahan masalah kemiskinan perlu didasarkan pada pemahaman
suara masyarakat miskin, dan adanya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan
hak-hak mereka, yaitu hak sosial, budaya, ekonomi dan politik. Oleh karena
itu, strategi dan kebijakan yang dirumuskan dalam strategi nasional
pengentasan kemiskinan didasarkan atas pendekatan berbasis hak (Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, 2005). Menurut Sallatang (1986) bahwa
kemiskinan adalah ketidakcukupan penerimaan pendapatan dan pemilikan kekayaan
materi, tanpa mengabaikan standar atau ukuran-ukuran fisiologi, psikologi dan
sosial. Sementara itu, Esmara (1986) mengartikan kemiskinan ekonomi sebagai
keterbatasan sumber-sumber ekonomi untuk mempertahankan kehidupan yang layak.
Fenomena kemiskinan umumnya dikaitkan dengan kekurangan pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Menurut Basri (1995) bahwa kemiskinan
pada dasarnya mengacu pada keadaan serba kekurangan dalam pemenuhan sejumlah
kebutuhan, seperti sandang, pangan, papan, pekerjaan, pendidikan,
pengetahuan, dan lain sebagainya. Sementara itu, menurut Badan Pusat
Statistik (2000), kemiskinan didefinisikan sebagai pola konsumsi yang setara
dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di
daerah perkotaan.
|
Maksud pertumbuhan dan pemerataan dalam konteks
pembangunan ekonomi Indonesia selama ini
Tujuan dari
pembangunan adalah kemakmuran bersama. Pemerataan hasil pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk menciptakan kemakmuran bersama merupakan
tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Tingkat pertumbuhan yang tinggi tanpa
disertai pemerataan pembangunan hanyalah menciptakan perekonomian yang lemah
dan eksploitasi sumber daya manusia yang tinggi untuk menciptakan kemakmuran
bersama. Dari segi pendidikan, Indonesia masih mengalami masalah
ketidakmerataan pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan akan mengakibatkan
rendahnya produktivitas dan berakibat pula pada rendahnya tingkat pendapatan.
Kesenjangan tingkat pendidikan mengakibatkan adanya kesenjangan tingkat
pendapatan yang semakin besar. Pemerataan hasil pembangunan perlu diupayakan
supaya pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pemerataan
pendidikan dan pemerataan fasilitas kesehatan merupakan salah satu upaya
penting yang diharapkan meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dengan
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Dan banyak hal yang dapat
dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatan pertumbuhan dan
pemerataan pembangynan Indonesia, sebagai contoh dengan mengefisiensikan
penerimaan pajak, meningkatkan perdagangan dengan luar negeri, meningkatkan
investasi langsung dan lain sebagainya.
Sumber :
No comments:
Post a Comment